Ketika Mom Berubah Menjadi Monster

Source : Pinterest

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
Aku ini hanya manusia biasa, aku bisa senang sebagaimana manusia senang dan aku bisa marah sebagaimana manusia marah. (HR. Muslim )

Suatu malam, dalam keadaan hampir terlelap tiba-tiba saja saya mereka ulang kejadian beberapa jam sebelumnya.
Kejadian dimana saya merasa sangat kesal karena kakang Z yang sulit menggosok gigi malam.
Aktifitas menggosok gigi menjelang tidur menurut saya adalah sesuatu yang perlu dan tidak boleh dilewatkan.

Saya yang hampir selalu ingin merasa sempurna dalam bagian ini, menjadi sangat kesal.
Dada terasa panas tak terlampiaskan karena menahan amarah, saya hampir frustasi. Terus memaksa kakang Z membuka mulut.
Keadaan menjadi semakin runyam ditambah tangisan kakang yang meronta ingin melepaskan diri.
Emosi saya tak keluar karena masih mengingat beragam arahan pola parenting ketika menghadapi situasi ini.
Tanpa bentakan, tanpa pukulan atau cubitan saja telah membuat saya sesak ketika kalimat Apap mengingatkan, "Inget Mam, bagi kakang sekarang segala sesuatu yang dilakukan hanya yang terasa enak baginya, bukan untuk perlu atau tidak perlu."

Malam itu saya menjadi sulit tidur, merasa terlalu memaksakan kehendak pada anak.
Apa yang terbaik bagi orang tua belum tentu dirasa baik pula bagi anak. Hanya karena masalah menggosok gigi, saya sampai tersulut emosi.
Astagfirullah..
Masalah yang nampak tak seberapa, jika keliru menyikapinya maka akan besar pula dampak buruknya.

Hai Moms, pernahkah merasakan hal yang sama?
Ketika tak ingin marah namun malah rentetan kalimat-kalimat yang tanpa sadar keluar menyakitkan anak?

Mari saya ceritakan sesuatu!
Pernah beberapa kali membaca, dimana anak menjadi serba takut menghadapi ibunya.
Karena apa?
Reaksi negatif ibunya tatkala berhadapan dengan beragam situasi dengannya.
Marah pada anak lalu menyesal, namun keesokan harinya kejadian berulang. Begitu seterusnya.
Padahal tentu saja hal ini tidak kita inginkan.
Namun mengapa seorang ibu dapat berubah menjadi seseorang yang sangat mengerikan?

Bukankan ibu adalah tempat yang utama dan pertama berbagi rasa?
Penuh kasih dan sayang yang tak terbatas terhadap anak.
Bagaimana jika anak telah merasa takut terhadap ibunya, akankah ia masih mau berbagi rasa?
Bagaimana kita menyikapi segala hal yang si kecil lakukan, maka itu akan menentukan bagaimana sikapnya selanjutnya.

Cerita diatas menjadi bahan perenungan saya kembali.
Tak ada satupun ibu di dunia ini ingin berlaku bak monster terhadap anak.
Bila memungkinkan ia ingin selalu diingat sebagai ibu peri yang selalu menyediakan sayap pelindung bagi anak-anaknya.
Kemudian saya menyadari, pentingnya menyelesaikan emosi ibu terlebih dahulu sebelum menghadapi anak.
Mari berproses bersama!

Marah adalah sesuatu yang wajar, manusiawi, dan merupakan emosi dasar.
(Buku Don't Be Angry Mom, dr. Nurul Afifah)

Jadi, sangatlah wajar jika kita pernah merasakan marah terhadap anak.
Kondisi yang letih terkadang tanpa kita sadari menjadi salah satu penyebabnya.
Namun bukan berarti dengan dalih mendisiplinkan anak maka kita berhak marah, tukang marah-marah apalagi sampai dicap ibu yang pemarah.
Ada berbagai bentuk pilihan untuk menyampaikan marah dengan baik, tinggalkan cara marah yang buruk dengan perilaku yang destruktif seperti mengancam, berteriak, memukul dan sebagainya.
Marah dengan reaksi wajar yang dikategorikan sebagai marah positif.

Apa dampak marah terhadap anak?
Sebagaimana kita ketahui ketika kita marah dengan satu bentakan saja akan membunuh miliaran sel otak anak saat itu juga.
Belum lagi jantung anak yang bisa saja kelelahan.
Tak heran jika anak menjadi sangat ketakutan saat kita berteriak.

Bagi psikisnya, ia akan merasa tidak percaya diri bahkan didepan orang terdekatnya, menjadi sangat tertutup dan buruknya lagi ia akan merasa sangat depresi. Menghilangkan bonding antara anak dan orang tua.
Marah yang tidak wajar bukan hanya berdampak buruk terhadap anak, namun tentu saja tidak baik bagi kesehatan diri kita sendiri.

Lalu bagaimana mengendalikan diri saat marah?

Berikut beberapa cara yang saya rangkum dari berbagai sumber:

1. Syukur dan Sabar 
Tak dapat dipungkiri bahwa seringkali dalam mengasuh anak kita dihadapkan dengan situasi yang tidak menyenangkan.
Namun, yang perlu kita ingat tak selamanya tangan-tangan mungil mereka membutuhkan uluran bantuan kita. Tak selamanya keadaan rumah yang berantakan menjadi tempat yang asyik baginya bermain.
Kesabaran kita dalam menyikapi segala tingkah polahnya menjadi cerminan pula baginya.
Anak merupakan anugerah terindah yang Allah ciptakan bagi mereka yang telah berumah tangga, bahkan hal ini masih menjadi dambaan bagi beberapa pasangan diluar sana.
Jadi bersyukur dan bersabar adalah kata yang tepat agar kita dapat memaklumi segala keluguan anak dalam segala kesempitan.

2. Kendalikan Diri
Bagian terpenting menurut saya, sebelum menangani anak yaitu kita perlu cepat mengelola emosi diri sendiri terlebih dahulu. Tarik nafas, lalu berdamailah dengan keadaan. Ubahlah diri sendiri sebelum mengubah anak.
Pikiran akan menjadi ucapan, baik pada diri sendiri maupun orang lain. Ucapan akan mewujud tindakan yang berulang sehingga menjadi suatu karakter.

3. Asosiasi - Disosiasi
Ketika berada dalam situasi emosional, seperti melihat rumah yang berantakan kita dapat menggunakan skill ini.
Ambillah waktu sepersekian detik lalu mundur 1-2 langkah dan bayangkan diri kita tertinggal di tempat di mana tadi kita pertama kali berdiri.
Dengan demikian kita dapat melihat diri kita sendiri secara imajinatif dan anak kita beserta kondisinya. Jadikanlah diri kita sebagai pengamat, lalu lihat diri kita yang ada di depan kita dan berikanlah saran padanya sebaiknya bagaimana ia bersikap dalam menghadapi situasi tersebut.

4. Fokus Pada Kelebihan 
Apa hal sepele yang sering membuat kita marah Moms?
Anak menumpahkan minum?
Atau anak makan masih berantakan?
Terkadang kita terburu-buru mematahkan fitrah semangat belajarnya dengan reaksi negatif padahal dalam kejadian air minum yang tumpah itu ia tengah berupaya menguatkan otot-otot jemarinya mencengkeram gelas. Alangkah lebih baik jika kita fokus pada kebaikannya.
Ucapkanlah kalimat positif agar ia lebih berhati-hati namun tetap tidak menjatuhkan semangatnya.

5. Santai Saja!
Melihat rumah dalam keadaan berantakan, daripada menghabiskan energi untuk marah lebih baik jika kita mengajarkan anak untuk melakukan apa yang diinginkan.
Ajaklah anak juga untuk merapikan mainannya.
Masalah selesai tanpa perlu menyakiti hati anak.

6. Diam
Diantara solusi yang disampaikan Rasulullah ketika sedang marah adalah diam. Tujuannya agar menghindari penggunaan kalimat serta tindakan yang buruk terhadap anak.
Setelah tenang, mulailah berkomunikasi dengan anak untuk menyelesaikannya.

Lalu Bagaimana Agar Saya Tak Mudah Marah?

1. Mengidentifikasi Pemicu
Ini adalah langkah pertama yang cukup jelas tetapi bisa sangat mudah dilewatkan.
Pernah kita dalam kondisi sangat marah tapi setelah emosi mereda berpikir kembali, kenapa ya tadi saya marah?
Nah, kita perlu menyadari apa yang membuat kita lebih mudah tersulut amarah sehingga kita dapat belajar untuk mengatasi dan mempersiapkan diri bahkan bisa saja menghindarinya. Ada beberapa pemicu yang jelas seperti lelah, lapar atau merasa kesepian.

2. Miliki Harapan yang Realistis
Seperti cerita saya diatas, ketika anak sesekali waktu tidak mau diajak menggosok gigi. Apa yang saya harapkan dari anak yang berusia belum genap 3 tahun?
Bisa menggosok gigi dengan sempurnakah?
Ini yang dimaksud saya harus realistis.
Tidak terlalu berharap berlebihan, karena anak dalam proses belajar yang terkadang masih membuat kesalahan.

3. Me-Time
Hal yang dirasa tidak penting setelah menjadi ibu. Padahal me-time berfungsi sebagai penyeimbang.
Jangan terlalu jauh memikirkan ingin menikmati waktu bersantai sendiri keluar rumah. Cukup ambillah waktu sejenak untuk diri sendiri melakukan hal yang disukai. Atau lakukanlah perawatan, memastikan bahwa kita memenuhi kebutuhan fisik dasar secara konsisten (makan, tidur) dan kondisi emosional kita.

Hal ini bukan hanya bermanfaat bagi diri sendiri, tentu akan membawa dampak baik pada keluarga.
Menghabiskan waktu dengan me-time dapat mengembalikan energi positif dan semangat ibu untuk kembali menjalani rutinitas.

4. Berjanji Tidak Akan Menjadi Ibu Pemarah
Seperti halnya kita tidak ingin melabeli anak-anak kita dengan sesuatu yang negatif, kita juga tidak ingin melabeli diri kita sendiri. Hanya karena kita seorang ibu yang marah kemarin tidak berarti membuat kita hari ini menjadi ibu pemarah juga. Sekalipun kita telah melakukan kesalahan dan telah melakukan sesuatu yang kita sesali, kita masih memiliki kesempatan untuk memperbaikinya dengan meminta maaf kepada anak yang terkena dampaknya dan dengan belajar cara mengatasinya. Hal ini semacam afirmasi positif bagi diri kita sendiri berupaya agar menjadi lebih baik.

Bagaimana jika telah terlanjur memarahi anak?

Akui kesalahan dan meminta maaf.
Karena kejadian yang buruk pada anak saat kita marah bisa saja tidak akan hilang begitu saja.
Rangkul anak setelah meminta maaf, berusaha untuk memberikan alasan kenapa kita marah tanpa kalimat negarif. Ini merupakan salah satu metode penyembuhan setelah kita memarahi atau bertindak kasar padanya.

Sulitkah melakukan semuanya?
Ya.
Semua ini akan terasa sangat berat jika kita tidak mau memperbaiki diri. Namun, tak ada yang sulit jika kita mau mengupayakannya. Tergantung dari besarnya niat dan bagaimana kita mengambil sudut pandang.

Tenang Moms, didalam kehidupan ini tak ada yang sempurna.
Saya yakin, kita tengah berupaya untuk selalu menjadi lebih baik setiap harinya, bukan?
Mari bersama mengelola emosi dengan sehat demi anak-anak kita.

Tentu semua berlangsung secara bertahap, pengelolaan emosi orang tua menjadi kunci agar dapat menuntaskan masalah dengan baik.
Besar harapan, jika menikmati parenting ini tidak hanya berfokus pada tujuan, tapi baik orang tua dan anak dapat menikmati proses dengan sebaik-baiknya💕

Referensi :
Afifah, Nurul dr. 2019. Don't Be Angry Mom. Jakarta: Imprint Penerbit Serambi.
Fitriani, Okina. 2018. Enlightening Parenting. Jakarta. Serambi.


Tidak ada komentar